Pertahanan Mulai Jebol, Kasus Covid-19 RI Bakal Terus Meledak

Foto: Warga menjalani tes usap atau swab test di GSI Lab (Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium), Cilandak, Jakarta, Senin (2/11/2020). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

 

 

JAKARTA - Tahun 2020 akan segera usai dalam 3 minggu lagi. Namun pandemi Covid-19 di Tanah Air masih belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Malahan jumlah kasus harian trennya terus meningkat.

Sampai hari ini Selasa (8/12/2020) sudah ada 586.482 orang yang dilaporkan terinfeksi Covid-19 secara kumulatif sejak pertama kali diumumkan oleh Presiden Joko Widodo awal Maret lalu.

Empat Provinsi dengan jumlah kasus Covid-19 kumulatif terbesar di Indonesia dengan sumbangsih 57% dari total kasus yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat masih terus mencatatkan peningkatan pertambahan kasus infeksi baru setiap harinya.

Tren pertambahan kasus harian sebenarnya sempat menurun pada akhir Oktober lalu. Namun setelah itu kasus meningkat dengan pesat. Rekor kasus harian tembus angka 4.000 dan kini sudah ada di angka 5.000 kasus per hari.

Parahnya lagi tambahan kasus infeksi Covid-19 sempat melejit ke angka 8.369 dalam sehari kurang lebih dua pekan lalu. Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan beberapa faktor yang menjadi pemicunya.

"Ini adalah akibat telah terjadinya penurunan drastis tingkat kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan 3M. Data terakhir menunjukkan tingkat kepatuhan memakai masker turun dari 83,67% pada bulan September menjadi 57,78% pada awal Desember," kata Wiku, Selasa (8/12/2020)

"Ini diperburuk juga dengan kenyataan bahwa kedisiplinan menjaga jarak juga turun dari 59,57% menjadi 41,75% pada periode yang sama."

Wiku menjelaskan tidak ada upaya lainnya yang efektif selain masyarakat patuh terhadap protokol kesehatan. Ia pun memberi ultimatum khusus.

"Saya harus kembali mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa mematuhi protokol Kesehatan merupakan kewajiban kita semua."

"Saya juga meminta kepada pimpinan dan aparat penegak hukum di daerah untuk terus melakukan penegakan disiplin terhadap masyarakat yang masih tidak patuh terhadap protokol kesehatan dan tidak pandang bulu."

"Ingat! dokter dan tenaga kesehatan yang memberikan perawatan merupakan benteng terakhir. Jumlah mereka sangat terbatas. Hargailah mereka," papar Wiku.

Pelanggaran protokol kesehatan memang perlu ditindak tegas karena itu bagian dari law enforcement dalam rangka untuk mendisiplinkan masyarakat di tengah upaya bersama untuk menjinakkan wabah berbahaya abad ini.

Namun ada satu hal yang juga harus dipahami dari adanya pelanggaran protokol kesehatan oleh masyarakat ini. Sebagai makhluk sosial manusia terikat dalam sebuah tatanan sosial yang dibangun melalui mobilitas dan interaksi.

Di saat pandemi terjadi masyarakat siapapun itu terlepas dari dari kalangan manapun diminta untuk menjaga jarak aman dan memindahkan seluruh aktivitasnya mulai dari sekolah, bekerja hingga ibadah di rumah masing-masing.

Pandemi Covid-19 dan penanganannya baik melalui lockdown maupun yang lebih ringan punya konsekuensi psikologis.

Berbagai penelitian yang dimuat di jurnal-jurnal ilmiah terkemuka memberikan serentetan bukti bahwa lockdown maupun social distancing punya dampak negatif terhadap kesehatan mental seperti munculnya perasaan kesepian, kecemasan bahkan sampai depresi.

Penurunan kesehatan mental ini tidak hanya diderita oleh salah satu kalangan saja tetapi hampir semua kalangan di segala rentang usia.

Penelitian Morgil dkk dari University of Rouhampton, London Inggris yang dimuat di Revista de Psicología Clínica con Niños y Adolescentes September lalu menunjukkan bahwa gejala psikologis yang sering dikeluhkan oleh anak yang paling tinggi adalah kebosanan (73,8%), diikuti oleh kesepian (64,5%) dan frustrasi (61,4%).

Mudah tersinggung, gelisah, marah, gelisah, sedih, khawatir dan cenderung berdebat dengan anggota keluarga lainnya dilaporkan oleh lebih dari 30% pengasuh. Selama lockdown, anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu menggunakan layar, dan lebih sedikit waktu melakukan aktivitas fisik dan tidur.

Selain itu, koeksistensi keluarga selama lockdown digambarkan sebagai hal yang cukup sulit. Lebih dari separuh pengasuh melaporkan sedang atau sangat tertekan selama lockdown dan tingkat tekanan psikologis pengasuh secara signifikan terkait dengan gejala anak.

Sebagai informasi Inggris merupakan salah satu negara yang menerapkan lockdown dengan ketat dan masif.

Contoh negara lain yang menerapkan lockdown nasional adalah India. Studi yang dilakukan oleh Pandey dkk yang dimuat di jurnal ilmiah PLOS One menunjukkan bahwa berdasarkan dari sejumlah populasi yang disurvei di India, prevalensi depresi yang dilaporkan adalah sekitar 30,5% responden.

Kemudian diikuti dengan kecemasan yang dilaporkan oleh 22,4% responden, diikuti oleh stres yang terlihat pada 10,8% responden. Pada minggu ketiga kejadian depresi meningkat dengan signifikan menjadi 37,8% versus 23,4%, di minggu kedua.

Jumlah responden yang mengalami kecemasan juga naik signifikan menjadi 26,6% dari 18,2% di minggu kedua. Kasus yang sama terjadi untuk kategori responden yang melaporkan stres. Kasus stres bertambah dari 9,3% menjadi 12,2% pada minggu ketiga.

Dua kasus yang dibahas sebelumnya adalah contoh di negara-negara yang menerapkan kebijakan lockdown masif. Lantas apakah hasil yang sama juga dijumpai di negara-negara dengan kebijakan pembatasan mobilitas yang lebih longgar?

Jawabannya tetap saja iya.

Studi yang dilakukan oleh Sugaya dkk yang dimuat di jurnal ilmiah internasional Nature dengan judul 'A real-time survey on the psychological impact of mild lockdown for COVID-19 in the Japanese population' menjadi bukti konkret bahwa kesehatan mental masyarakat juga terganggu.

Jepang tidak seperti kebanyakan negara-negara Eropa yang menerapkan lockdown secara ketat. Hasil dari studi yang dilakukan oleh Sugaya dan rekan menunjukkan bahwa prevalensi depresi masyarakat Jepang kala itu mencapai 17,9%.

Sementara pada tahun 2013 survei serupa juga dilakukan dan menunjukkan prevalensi depresi mencapai 7,9%. Terlepas dari perbedaan periode dan jumlah sampel yang digunakan dalam survei, lebih banyak laporan riset yang menyebut bahwa dampak psikologis pembatasan mobilitas di tengah pandemi adalah hal yang tak terelakkan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sebuah survei yang dilakukan terhadap lebih dari 1.200 responden secara online oleh Respati dkk pada April lalu saat PSBB mulai digalakkan menunjukkan bahwa 34% responden mengaku mengalami tingkatan stres ringan ke sedang. Sementara ada 2,8% responden yang melaporkan mengalami stres berat.

Pandemi sudah berjalan 9 bulan di Indonesia. Kebijakan PSBB terus diperpanjang dengan kasus yang tak kunjung melandai. Selain berdampak buruk bagi kesehatan mental masyarakat yang dipaksa untuk lepas dari kodratnya sebagai makhluk sosial tanpa kontak fisik seperti sebelumnya, dampak ekonominya juga jelas terasa.

Hal ini yang ditengarai menjadi salah satu pemicu menurunnya tingkat kepatuhan di kalangan masyarakat. Rasa bosan, kesepian, stres hingga depresi tak bisa dielakkan karena dipaksa harus terkungkung dengan segala pembatasan aktivitas yang ada.

Oleh karena itu ini menjadi catatan pemerintah untuk membuat kebijakan yang juga mempertimbangkan aspek psikologis masyarakatnya. Komunikasi publik dari para pembuat kebijakan juga perlu untuk dievaluasi dan diperbaiki dalam rangka untuk membangun kesadaran bersama mengataso masalah abad ini yaitu pandemi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.